Ayah

Hari ini saya kedatangan sunda's family, Kerabat dari bapak. It always fun to talk and chat with them. Bukan berarti kerabat saya yang lain ngga menyenangkan. Tapi bersama mereka saya seperti menemukan jiwa saya. Tempat dimana saya berasal. Place where I belong.

Saya hanya generasi ketiga dari pribumi sunda. Tapi saya besar dan tumbuh di tatar sunda. Jelek2 begini juga bisa bahasa sunda, meskipun bukan yang halusnya. Karena dari sd sampai smp ada pelajarannya, plus banyak kawan yang menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa Ibu-nya. Bahasa ibu saya sendiri sih bahasa indonesia, campur jawa, mix sunda. hehe...

Ayah saya lahir di Banjar, daerah ciamis. Satu kota yang sebelahan dengan objek wisata Pangandaran. Beliau berasal dari keluarga prihatin, masa kecilnya penuh dengan airmata. Orang tuanya berpisah ketika ayah masih berada dalam kandungan. Ketika lahir beliau tak pernah disusui ibunya. Karena dibawa kakek saya bersama keluarga barunya. Persis seperti cerita sinetron, di tempat baru itu keadaan tak pernah menyenangkan. Pernah ia bercerita, ketika ada kerabat dari Ibu-nya menjenguk ayah. Beliau sedang menangis kelaparan, karena hanya diberi kerupuk untuk makanan sehari-harinya. Merasa iba, kerabat ayah tersebut (kakek) membawa ayah yang masih bayi itu pulang dan merawatnya.

Ngga sampai disitu cerita sedihnya, di keluarga kakek yang satu ini juga tidak begitu baik. Sehingga mulai saat itu ayah menumpang hidup berpindah-pindah dari satu keluarga kerabat ke keluarga lainnya, sementara nenek saya bekerja di Surabaya. Ayah mengerjakan apa saja yang ia bisa untuk bertahan hidup, meski tinggal dengan paman & bibi-nya, ayah tak pernah berpangku tangan. Menggembala kerbau, menebas batang bambu, membabat pohon jati, berdagang keliling, menjadi penjaga sekolah, mengurus sepupu2nya yang masih kecil. You named it, and my father must have already done that.

Sampai suatu hari, ayah yang tak pernah tahu ayah & ibu kandungnya itu nekat pergi dari rumah. Saya lupa alasan detailnya kenapa, yang jelas tidak menyenangkan juga. Beliau berharap bisa bertemu ibunya dan nekat pergi ke Surabaya, meskipun beliau tidak pernah tahu alamat nenek saya. Ia tidak menemukan nenek saya, dan terlalu malu untuk pulang kerumah pamannya. Hingga ia menggelandang di stasiun kereta api Ba
njar, berjualan rokok, koran, atau menyemir sepatu untuk menyambung hidup. Sampai suatu hari seorang paman yang terus mencari beliau menemukannya. Ayah akhirnya diberitahu alamat nenek di Surabaya. Jika memang tidak nyaman tinggal bersama paman2 dan bibi2nya, susullah Ibumu, tapi jangan menggelandang seperti ini. Begitu kata sang paman.

Berbekal alamat, ayah pergi lagi ke surabaya. Menemukan ibunya yang ternyata juga sudah berkeluarga dan memiliki beberapa orang anak. Pahi
t. Tapi di keluarga ini ayah menjadi lebih terurus, beliau bisa bersekolah sambil tetap mencari uang dengan menyunggi air dari sumur bersih utk dijual ke tetangga. Kesedihan masih belum berakhir, ketika akhirnya nenek saya juga harus berpisah dengan kakek tiri saya itu. Ayah menjadi terbengkalai, tidak terurus kembali.

Kasihan ayah, terombang ambing kesana kemari. Tak pernah punya keluarga yang utuh. Seorang kakak ayah yang bekerja di restorasi Kereta api berhasil menemukan ayah mereka, which is my grandpa, di Jakarta. Ayah saya yang belum pernah bertemu kakek seumur hidupnya, meminta agar bisa bertemu kakek. Pertemuan ayah & anak itu sangat mengharukan. keduanya tidak pernah mengetahui wajah dan rupa masing-masing. Saat itu ayah sudah remaja, beliau sedang
membaca koran dirumah kakek ketika kakek kembali dari bekerja. Kakek yang mengira bahwa ayah adalah kawan dari paman saya yang mengantar ayah, melenggang acuh tak acuh. Ketika diberitahu, bahwa itu adalah anak yang tak pernah ditemuinya, pecahlah tangis di ruangan rumah kakek.

Tinggal bersama kakek bukan berarti membuat ayah saya bisa menjadi "anak" seutuhnya. Beliau tetap harus bekerja agar bisa bersekolah. Berjualan kacang goreng, berjualan koran, etc. kecuali mengamen, karena ayah saya tidak bisa main gitar.

Hidup ayah berangsur membaik, Ia berhasil menyelesaikan sekolah dengan hasil jerih payah sendiri, meskipun hanya sampai SMA. Ia akhirnya bekerja di sebuah perusahaan asuransi, dan bertemu mama yang bekerja sebagai perawat. Cinta di jaman eighties itu penuh perjuangan. Mama saya cantik, banyak yang naksir, dan si mama gadis punya banyak pacar di kampung halamannya. Tapi ayah tetap gigih memperjuangkan mama. Pulang pergi Tanjung priuk - Manggarai, demi menjemput mama pulang dinas. Hingga akhirnya cinta mereka berakhir di pelaminan, yang berhasil membuahkan saya dan kakak saya.

Life's gradually better for my beloved father. Tidak mewah, tidak selalu indah, tak juga terlalu menyenangkan, tapi kami sekeluarga sangat mensyukuri apa yang ada. Hingga semuanya terasa cukup, meskipun kurang. Sampai sebuah peristiwa kembali menumbangkan ayah, perusahaan tempatnya bekerja selama hampir 20 tahun gulung tikar. "Si Uban", pemilik perusahaan ayah terlibat permainan curang menggunakan uang perusahaan, berakibat ayah dan ratusan orang lainnya dirumahkan tanpa pesangon. Such a tragedy. Ketika itu saya sudah lulus kuliah, yang berarti tak ada masalah besar yang bekaitan dengan uang. Tapi ini bukan hanya masalah uang. Ini masalah pengabdian ayah saya yang harus terkalahkan oleh ego si tamak, masalah harga diri ayah saya yang, aahhh, lagi-lagi harus menyingkir karena dipaksa.

Hidup ayah saya sepertinya tak pernah manis. Tapi itu salah, Ayah saya tak pernah menyesali seburuk apapun keadaan yang menimpanya. Ayah saya selalu lucu. Ayah saya berhasil menciptakan keluarga utuh & bahagia, yang tak pernah ia rasakan di masa kecilnya. Ayah saya berhasil membangun semuanya dari NOL. Hingga orang-orang, atau keraba
t yang dulu pernah mengenal ayah di masa kecilnya, selalu bangga terhadapnya. Anak yang bahkan diperkirakan tidak akan bertahan hidup, kini lebih sukses dari siapapun di keluarganya. Ayah berhasil belajar dari masa lalunya, belajar dari kesalahan yang dibuat orangtuanya, belajar untuk mensyukuri apa yang dimiliki saat ini. Dengan bangga saya mengatakan, saya sayang ayah saya. Mama saya juga pastinya, dan keluarga saya...

Maka mbakku sayang... Jangan kecewakan mereka yaa... Jangan membuat mereka menangis lagi, karena saya tidak sanggup melihatnya. Andai saya bisa menghapus kegundahan mereka, pasti sudah saya lakukan dari dulu dulu. Tapi cuma kamu, mbak. Yang bisa membuat senyum ayah mengembang kembali...

Love you all...





Comments

Popular Posts